Belitung, Wartakum7.com- Sidang perkara dugaan tindak pidana pertambangan mineral tanpa izin dengan 14 terdakwa kembali digelar di Pengadilan Negeri Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, Jumat 19 Desember 2025.
Agenda persidangan kali ini memasuki tahap pemeriksaan saksi ahli yang dihadirkan oleh para terdakwa kasus pasir timah ilegal.
Saksi ahli yang memberikan keterangan adalah Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta, sekaligus ahli dari IHZA & IHZA Law Firm.
Dalam keterangannya, Prof. Suparji menegaskan bahwa ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) tidak dapat serta-merta diterapkan kepada pekerja upahan seperti kuli panggul atau buruh harian.
Menurutnya, pekerja yang hanya memindahkan barang tanpa mengetahui asal-usul dan status legalitas mineral tidak dapat langsung dimintai pertanggungjawaban pidana.
“Penegakan hukum harus mengedepankan keadilan substantif dan kemanfaatan, bukan sekadar kepastian hukum formal,” tegasnya di hadapan majelis hakim.
Prof. Suparji menjelaskan bahwa Pasal 161 UU Minerba harus dibedah secara komprehensif ke dalam unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif berupa frasa “setiap orang”, kata dia, tidak boleh dimaknai secara mekanis, melainkan harus menunjuk pada subjek hukum yang mampu bertanggung jawab dan memiliki kesalahan.
“Dalam hukum pidana berlaku asas geen straf zonder schuld. Tanpa kesalahan, seseorang tidak dapat dipidana,” ungkapnya.
Sementara unsur objektif Pasal 161 dirumuskan secara alternatif, seperti menampung, memanfaatkan, mengolah, mengangkut, atau menjual mineral. Setiap perbuatan yang didakwakan, lanjutnya, harus dibuktikan secara materiil, bukan berdasarkan asumsi.
Diskusi persidangan turut menyoroti frasa “pengangkutan” dalam UU Minerba yang dimaknai sebagai kegiatan usaha. Prof. Suparji menegaskan adanya perbedaan mendasar antara kegiatan usaha dengan pekerjaan perorangan.
“Kegiatan usaha bersifat sistematis, terorganisir, berkesinambungan, dan bertujuan memperoleh keuntungan. Kuli panggul yang bekerja secara insidental jelas bukan pelaku kegiatan usaha pengangkutan,” jelasnya.
Dengan demikian, tindakan memikul atau memanggul barang secara manual oleh pekerja harian tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 UU Minerba.
Ahli juga menekankan pentingnya pembuktian niat jahat (mens rea). Menurutnya, seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila mengetahui dan menghendaki perbuatan tersebut.
“Jika pekerja tidak mengetahui bahwa barang yang dipindahkan merupakan mineral ilegal, maka unsur kesalahan tidak terpenuhi,” kata dia.
Ia menambahkan, Pasal 161 UU Minerba merupakan delik materiil, sehingga status ilegal objek mineral wajib dibuktikan terlebih dahulu. Ia mengibaratkan dengan tindak pidana pencucian uang, di mana tindak pidana asal harus terbukti sebelum menjerat pihak lain.
“Tidak adil menuntut pengangkut, sementara pemilik barang dan legalitas mineralnya belum jelas,” tutur Prof. Suparji.
Dalam analisisnya, Prof. Suparji menyimpulkan bahwa pekerja upahan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 161 UU Minerba karena beberapa alasan kumulatif.
Pertama, tidak melakukan kegiatan usaha.
Kedua, tidak memiliki pengetahuan dan niat jahat.
Ketiga, perbuatan dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Keempat, tanggung jawab perizinan dan legalitas melekat pada pemilik usaha atau barang.
“Menerima upah lebih besar pun tidak serta-merta membuktikan adanya kesengajaan. Bisa saja dianggap sebagai rezeki,” terangnya.
Ia juga menegaskan bahwa beban pembuktian sepenuhnya berada pada jaksa penuntut umum. Jaksa wajib membuktikan seluruh unsur dakwaan, termasuk legalitas barang, bentuk pengangkutan, serta mens rea para terdakwa.
Prof. Suparji juga mengingatkan bahwa surat dakwaan harus disusun secara cermat. Apabila dakwaan merujuk pada ketentuan yang keliru atau sudah tidak berlaku, maka dakwaan tersebut cacat hukum dan berpotensi dinyatakan tidak dapat diterima.
Dari sisi filosofis, Prof. Suparji menilai bahwa penegakan hukum tidak boleh terpaku pada bunyi pasal semata. Tiga tujuan hukum—kepastian, keadilan, dan kemanfaatan—harus berjalan beriringan. Namun, ketika terjadi benturan, keadilan dan kemanfaatan patut diutamakan.
“Menghukum pekerja miskin tanpa niat jahat bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak bermanfaat. Negara justru menanggung beban sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Prof. Suparji dalam keterangan tertulisnya.
Ia menambahkan, hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium, yakni upaya terakhir, bukan alat untuk menghukum secara membabi buta tanpa mempertimbangkan hati nurani dan realitas sosial masyarakat.*Tim





