Pelaku TPPU (Money Laundering) yang Bertindak Sebagai Justice Collaborator Dalam Proses Penegakan Hukum

Pelaku TPPU (Money Laundering) yang Bertindak Sebagai Justice Collaborator Dalam Proses Penegakan Hukum

Spread the love
Penulis : Petricia br Sembiring
Fhoto Ilustrasi:

Jakarta | Wartakum7.com – Pada Prinsipnya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari Berbagai Tindak Pidana, Seperti: Korupsi, penyuapan, penyelundupan, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran,

perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, pengelapan, penipuan, yang dilakukan
di wilayah Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara RI dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Keadaan yang menunjukkan tingginya minat para pelaku tindak pidana pencucian uang dengan berbagai macam tindak pidana asalnya atau predicate crime yang berbeda-beda menjadi seorang whistleblower dan justice collaborator menunjukkan moralitas para pelaku tindak pidana secara sadar belum habis seluruhnya.

Sementara pegangan hukum terhadap justice collaborator ini hanya mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan lain sebagainya.

Justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Dengan adanya peran justice collaborator dapat mempermudah aparat penegak hukum dalam mengungkap proses terjadinya TPPU.

SEMA Nomor: 04 Tahun 2011 secara rinci menjelaskan definisi dan bentuk perlindungan terhadap Justice collaborator. Namun secara tersirat, perlindungan hukum terhadap orang-orang yang berperan sebagai Justice collaborator telah diatur dalam beberapa undang-undang seperti UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengakui eksistensi pelaku yang bekerjasama lazim disebut dengan istilah saksi mahkota.

Eksistensi saksi mahkota selintas diatur dalam pasal 142 KUHAP yang menyatakan bahwa, dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing masing terdakwa secara terpisah.

Kemudian dalam ketentuan pasal 168 huruf a KUHAP ditegaskan, bahwa: Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Ketentuan Pasal 168 huruf b KUHAP yang berbunyi, atau yang bersamasama sebagai terdakwa, selintas ada mengatur tentang saksi mahkota. Dalam praktik peradilan, eksistensi jenis saksi ini Nampak apabila terdakwa yang sama sama sebagai pelaku tindak pidana tersebut kemudian perkaranya dipisahkan menjadi berkas perkara tersendiri (splitsling perkara) dimana keduanya satu sama lain saling menjadi saksi. Konkritnya, status mereka masing masing adalah sebagai terdakwa sekaligus juga sebagai saksi terhadap perkara lainnya.

Dari ketentuan pasal KUHAP di atas yang mengatur secara implicit tentang saksi mahkota apabila dikaji dari visi teoretis dan praktik menimbulkan sebuah nuansa yuridis. Disatu sisi diajukannya saksi ini di depan persidangan diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran materiel suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa terlebih lagi terhadap tindak pidana yang relative cukup sulit pembuktiannya.

Akan tetapi di sisi lainnya penerapan jenis saksi ini akan berbenturan dengan aspek teoretis dimana pengaturan saksi mahkota tidak ada diatur secara tegas dalam KUHAP dan dari sudut pandang hokum pidana materiel akan menimbulkan implikasi yuridis.

Konkretnya, pada dimensi praktik jenis saksi mahkota dibutuhkan dalam rangka pengungkapan sebuah perkara sedangkan dari dimensi lainnya pengaturan dan implikasi yuridis jenis saksi ini terlihat dari aspek teoritisnya.

Terkait dengan perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang bertindak sebagai Justice Collabolator sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam UU LPSK yang baru ini hak dari saksi dan korban terdiri dari:
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
memberikan keterangan tanpa tekanan;
mendapat penerjemah;
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
dirahasiakan identitasnya;
mendapat identitas baru;
mendapat tempat kediaman sementara;
mendapat tempat kediaman baru;
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
mendapat nasihat hukum;
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
mendapat pendampingan.
Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada uraian di atas berupa:
keringanan penjatuhan pidana; atau
pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan perkara pidana tindak pidana pencucian uang (TPPU) dapat melibatkan peran justice collaborator sehinggga aparat memudahkan Jaksa dalam mengungkap proses terjadinya TPPU sekaligus dapat membuktikan suatu kebenaran materil di muka persidangan.