Jakarta, 28 Maret 2022
*1. Pengantar*
Invasi Rusia yang telah terjadi sejak 24 Februari 2022 silam, sampai saat ini juga belum menemukan titik terang tentang kapan akan berakhir dan apakah akan tercapai penyelesaian dengan cara negosiasi baik secara bilateral antara Rusia dan Ukraina maupun secara multirateral, dengan melibatkan banyak negara maupun organisasi internasional dimana Rusia maupun Ukraina menjadi anggotanya. Perang yang terjadi antara kedua negara tersebut, telah menimbulkan dampak yang sangat luas tidak hanya terhadap kedua negara, melainkan juga secara global baik dari perspektif makro ekonomi, keuangan maupun geo politik dunia. Selain itu juga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit dari masyarakat sipil maupun militer, hingga kerusakan infra struktur yang luar biasa.
Berdasarkan data yang dimuat kompas.com tertanggal 25 Maret 2022, Mikhail Mizintsev pejabat senior Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan sebanyak 1.351 tentara Rusia yang dinyatakan tewas dan telah mengevakuasi lebih dari 400.000 warga sipil dan mengecam pasokan senjata Barat ke Kyiv. Pejabat militer senior memberikan pembaruan pertama tentang angka kematian Rusia dalam beberapa minggu, dan menambahkan bahwa 3.825 tentara luka-luka. Selain itu terdapat 419.736 warga sipil telah dievakuasi ke Rusia dari wilayah separatis Donetsk dan Luhansk di timur, begitu pun seluruh Ukraina. Dari jumlah tersebut, lebih dari 88.000 di antaranya adalah anak-anak, sementara 9.000 adalah orang asing. Sedangkan Dia juga mengeklaim bahwa 14.000 tentara Ukraina tewas dan 16.000 prajurit terluka (sumber dari Rusia).
Akibat perang dengan Ukraina, Kepala Pusat Manajemen Pertahanan Nasional Rusia, Mikhail Mizintsev sebagaimana diberitakan kompas.com, tertanggal 26 Maret 2022 mengklaim bahwa akibat dari penembakan yang terjadi hampir setiap hari oleh Angkatan Bersenjata Ukraina dan batalyon nasionalis Ukraina, 4.115 fasilitas dasar telah hancur dan 55.310 fasilitas lainnya rusak. “Di antaranya, adalah bangunan tempat tinggal, lembaga pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas vital lainnya”. Beda dengan Rusia, akibat invasi Rusia ke Ukraina berdasarkan info yang dimuat dalam tribunnews.com tertanggal 15 Maret 2022 sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Ukraina setidaknya Rusia itu telah merusak 104 rumah sakit, 7 diantaranya mengalami kerusakan parah dan tidak dapat diperbaiki.
Mencermati dampak dari invasi Rusia dan dampak yang luar biasa dari perang tersebut, timbul keingintahuan masyarakat internasional maupun Indonesia tentang apakah dengan Melakukan Invasi Rusia dapat dikualifikasikan telah melakukan kejahatan perang dan apakah Presiden Rusia Vladimir Putin dapat disebut penjahat perang, bagaimana kriteria-kriterianya, lembaga dan organisasi apakah yang berhak mengadili dan menentukan serta bagaimana mekanisme penyelesaian kasus internasional ini?.
*2. Kejahatan Perang*
Kejahatan perang adalah perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa I, II, III, IV, dan Protocol Tambahan I, bila perbuatan tersebut berakibat kematian, penderitaan berat, atau luka serius pada orang-orang yang dilindungi, tawanan perang, atau pun penduduk sipil. Istilah kejahatan perang berarti luas dan mencakup banyak perbuatan tertentu, seperti penyiksaan (penganiayaan), termasuk penggunaan narkotika untuk mengubah pikiran atau prosedur medis tak waras, mutilasi fisik, eksperimen medis, atau perlakuan tidak manusiawi, dan lain-lain.
Menurut Pasal 1 Stb. 1946 No. 44 yang dimaksud kejahatan perang adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar undang-undang atau kebiasaan perang, dilakukan dalam masa perang oleh bawahan sebuah negara musuh atau oleh orang-orang asing antek-antek musuh, seperti pembunuhan masal, terror yang sistematis, pembunuhan tawanan dan lainnya.
Sedangkan menurut Wikipedia menyatakan bahwa Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran yang telah ditentukan di dalam hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma dan aturan-aturan pertempuran. Sebagai salah satu contoh, melakukan penyerangan kepada pihak yang telah mengibarkan bendera putih yang merupakan tanda sebagai bendera perdamaian.
Secara umum, terdapat lima bentuk sanksi terhadap pelanggaran hukum humaniter atau kejahatan perang, yaitu: protes, penyanderaan, kompensasi, reprisal dan penghukuman pelaku yang tertangkap. Secara khusus ada sejumlah bentuk sanksi terhadap kejahatan perang yang dapat dikenakan kepada pihak yang berperang, yaitu kompensasi, sanksi militer, sanksi non militer. Sedangkan bagi individu yang terlibat dalam perang yang melakukan kejahatan perang dapat dikenakan pertanggungjawaban individu dan pertanggungjawaban komandan.
*3. Kualifiaksi Kejahatan Perang*
Kualifikasi kejahatan perang dalam beberapa instrumen utama hukum humaniter internasional baik yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata noninternasional. Dalam konflik bersenjata internasional kejahatan perang meliputi, tetapi tidak terbatas pada apa yang disebutkan:
a. Pembunuhan disengaja;
b. Penganiayaan atau perlakuan yang tidak berprikemanusiaan termasuk percobaan biologis;
c. Menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar dan luka berat atas badan dan kesehatan;
d. Pembinasaan yang luas dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena;
e. Dan lain-lain.
*4. Unsur-unsur Kejahtan Perang*
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998. Kejahatan Perang memiliki banyak kriteria, oleh karena itu dari sekian banyak kriteria tersebut, berikut kami sajikan beberapa diantaranya, tetapi tidak terbatas pada apa yang disebutkan ialah:
a. Kejahatan perang berupa pembunuhan yang dilakukan dengan sadar (Pasal 8 ayat (2) huruf (a) dan (i))
Unsur-Unsurnya ialah Pelaku membunuh satu atau lebih orang. Orang atau orang-orang tersebut [yang dibunuh itu] dilindungi satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan status dilindungi itu. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional, dan Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
b. Kejahatan perang berupa penyiksaan (Pasal 8 (2) (a) (ii) – 1)
Adapun Unsur-Unsurnya ialah Pelaku mendatangkan siksaan fisik atau derita mental atau kesengsaraan terhadap satu atau lebih orang. Pelaku mendatangkan derita atau kesengsaraan bagi orang lain karena tujuan atau alasan-alasan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, karena hukuman, intimidasi, atau pemaksaan atau karena berbagai alasan yang didasarkan pada diskriminasi dalam berbagai bentuknya. Orang atau orang-orang itu dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa 1949. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan-keadaan faktual yang menentukan status dilindungi itu. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional, dan Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
c. Kejahatan perang berupa perlakuan tidak manusiawi (Pasal 8 (2) (a) (ii) – 2)
Unsur-Unsurnya ialah Pelaku mendatangkan siksaan fisik atau derita mental atau kesengsaraan terhadap satu atau lebih orang. Orang atau orang-orang itu dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa 1949. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan-keadaan faktual yang menentukan status dilindungi itu. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional, dan Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
d. Kejahatan perang berupa percobaan biologis (Pasal 8 (2) (a) (ii) – 3)
Unsur-Unsurnya ialah Pelaku menjadikan satu atau lebih orang tunduk pada suatu percobaan biologis tertentu. Eksperimen tersebut membahayakan secara serius kesehatan fisik atau mental atau integritas orang atau orang-orang semacam itu.
Tujuan atau maksud dari eksperimen tersebut tidak untuk terapi atau pengobatan (nontherapeutic) dan juga tidak dibenarkan baik berdasarkan alasan-alasan medis maupun berdasarkan kepentingan orang atau orang-orang itu. Orang atau orang-orang itu dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa 1949. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan-keadaan faktual yang menentukan status dilindungi itu. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional, dan Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
e. Kejahatan perang berupa secara sadar menyebabkan penderitaan berat (Pasal 8 (2) (a) (iii))
Unsur-Unsurnya ialah Pelaku menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang luar biasa atau kesengsaraan, atau luka serius terhadap badan atau menyebabkan kerusakan kesehatan seluruhnya dari satu atau lebih orang. Orang atau orang-orang itu dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa 1949. Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan-keadaan faktual yang menentukan status dilindungi itu. Tindakan atau perbuatan tersebut terjadi dalam konteks dan dalam kaitan dengan konflik bersenjata internasional, dan Pelaku menyadari atau tahu soal keadaan atau situasi faktual yang menentukan eksistensi konflik bersenjata itu.
*5. Tujuan Perang*
Dalam U.S Army Field Manual of the law Landwalfare dijelaskan beberapa tujuan perang yaitu:
1. Melindungi baik kombat maupun noncombat dari penderitaan yang tidak perlu;
2. Menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ketangan musuh;
3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian;
4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang (the law of landwarfer, 1969:3)
*6. Syarat-syarat Perang*
Ketentuan Pasal 1 Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat tunduk pada hukum perang.
Pasal 1 Hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut:
1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya;
2. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak jauh;
3. Membawa senjata secara terbuka; dan
4. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan perang. Di Negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau menjadi bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian “Angkatan Darat”.
Sehingga orang-orang yang harus mematuhi dan melaksanakan aturan hukum perang tidak hanya terbatas pada setiap tentara saja, melainkan terdapat beberapa persyaratan untuk bagaimana orang-orang selain tentara juga dapat diberlakukan hukum dan aturan perang tersebut.
*7. Prinsip-Prinsip Kejahatan Perang*
Kejahatan perang merupakan bagian terpenting dalam hukum kemanusiaan internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia yang pada dasarnya harus dihormati dan dihargai oleh setiap orang dalam keadaan dan situasi apapun. Adapun prinsip-prinsipnya ialah:
a. Kepentingan militer dan penjagaan ketertiban umum harus tetap sesuai dan menghormati nilai kemanusiaan;
b. Negara yang berperang tidak boleh membebankan kerugian pada musuh mereka yang tidak sebanding dengan objek perang yang dirusak oleh kekuatan militer musuh;
c. Orang-orang yang ditempatkan pada pertempuran dan mereka yang tidak terlibat dalam peperangan harus dihormati, dilindungi, dan dirawat secaa manusiawi;
d. Adalah hak dari kelompok yang berkonflik untuk memilih cara atau jalan mencapai kesejahteraan secara tidak terbatas.
*8. Sumber Hukum Perang*
*1. Konvensi-Konvensi den Haag 1907*
Hukum tersebut mengatur alat dan cara berperang (means and method of warfare). Bahwa ada cara-cara tertentu dan alat-alat tertentu yang dilarang untuk dipakai/digunakan. Dari konvensi tersebut mungkin ada kejadian-kejadian yang belum diatur. Namun demikian, dalam keadaan semacam itu, baik penduduk maupun pihak-pihak yang berperang tetap akan mendapat perlindungan dari hukum internasional, maupun dari kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional yang berhubungan dengan kemanusiaa.
*2. Konvensi-Konvensi Jenewa 1949*
Hukum ini mengatur perlindungan terhadap mereka yang menjadi korban perang. Hukum ini juga mengatur perang yang bersifat internasional (perang/konflik bersenjata antar negara, juga mengatur perang yang bersifat noninternasional yaitu konflik/perang yang terjadi di wilayah salah satu peserta agung antara pasukannya dengan pasukan bersenjata pembangkang/pembrontak.
*3. Protokol Tambahan 1977*
Protokol tambahan ini menyempurnakan isi dari konvensi Jenewa 1949, dan menekankan bahwa konvensi Jenewa tetap berlaku. Yang terdiri dari dua buku yaitu protocol I mengatur perang/konflik bersenjata yang bersifat internasional yaitu perang/konflik bersenjata antarnegara. Sedangkan Protokol II mengatur tentang perang/konflik bersenjata yang sifatnya noninternasional, yaitu perang/konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan pembankang atau pembrontak.
*9. Kewajiban Negara Untuk Menghukum Pelanggaran Berat Hukum Humaniter Internasional*
Ada beberapa alasan penting yang menyatakan perlunya melakukan penghukuman terhadap kejahat perang, pertama, adanya kewajiban moral bagi negara untuk menjamin perlindungan atas warga negaranya pada waktu perang sehingga negara juga berkewajiban untuk secara ketat membatasi penggunaan kekerasan dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya, kedua, penghormatan terhadap hukum humaniter internasional merupakan bagian dari suatu strategi perang modern yang didasarkan pada penggunaan sumber daya yang rasional, sehingga dengan menghukum pelaku kejahatan perang merupakan suatu pilihan militer yang beralasan. ketiga, penghukuman terhadap kejahatan perang merupakan suatu pilihan politik yang masuk akal, karena hal ini merupakan cara yang terbaik untuk mendorong musuh melakukan hal yang sama juga.
Lalu dalam konteks hukum perang, yang menjadi pertanyaan ialah pada saat ini lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan memberikan hukum terhadap kejahatan perang tesebut?
*10. Hukum Pidana Internasional*
Bahwa hukum pidana internasional adalah sekumpulan aturan hukum internasional yang melarang kejahatan-kejahatan internasional dan membebankan kewajiban kepada negara-negara untuk menuntut dan menghukum sekurang-kurangnya beberapa bagian dari kejahatan-kejahatan itu. Adapaun beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan perang, tetapi tidak terbatas pada lembaga tersebut diantaranya:
*a. Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ)*
ICJ didirikan oleh Piagam PBB yang ditandatangani pada 26 Juni 1945. Ini adalah badan peradilan utama dalam keluarga PBB dan memiliki yurisdiksi di antara hal-hal lain, pertanyaan yang berkaitan dengan Piagam PBB, penafsiran perjanjian internasional, pertanyaan hukum internasional, pelanggaran hukum internasional, dan sifat serta tingkat kompensasi dalam hal pelanggaran kewajiban di bawah hukum internasional.
*b. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC)*
Mahkamah Pidana Internasional dalam konteks hukum pidana internasional adalah suatu Badan Peradilan tetap yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mahkamah Pidana Internasional merupakan salah satu instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menuntut dan mengadili para pelaku tindak pidana atau kejahatan internasional.
ICC yang berbasis di Den Haag, Belanda, didirikan untuk membantu mengakhiri masalah kekebalan hukum dan pelanggaran berat atas hukum kemanusiaan internasional. Pengadilan ini menangani kejahatan internasional berat, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. ICC hanya akan bertindak ketika negara-negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak mau untuk menyelidiki atau menuntut pelaku kejahatan atas hukum kemanusiaan internasional.
Mahkamah Pidana Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negara-negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) juga memiliki yurisdiksi, yang diantaranya adalah:
– Yurisdiksi Personal
Adalah kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah untuk mengadili para pelaku kejahatan atau tindak pidana yang berupa orang-orang atau individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan sebagaimana telah ditentukan didalam Statuta Roma tahun 1998;
– Yurisdiksi Territorial
kewenangan mahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai badan peradilan internasional berdasarkan lokasi atau wilayah hukum atas perbuatan kejahatan internasional itu terjadi. Pada dasarnya yurisdiksi ini berlaku di wilayah negara-negara peserta dalam Statuta Roma tahun 1998 yang apabila terjadi kejahatan lintas batas territorial negara.
– Yurisdiksi Temporal
Adalah kewenangan mahkamah sebagaimana diatur didalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Statuta Roma tahun 1998 yang berbunyi: mahkamah hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya statuta ini. Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi sebelumnya, hal ini sesuai dengan salah satu asas hukum pidana internasional, yaitu asas non retroaktif nonretroactive), hal tersebut berdasarkan pada Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tahun 1998.
– Yurisdiksi Kriminal
Adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh mahkamah dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili kejahatan-kejahatan interansional yang termasuk atau diatur didalam Statuta Roma tahun 1998.
Adapun beberapa kasus hukum pidana Internasional ialah:
– Peradilan Terbuka Di Moskow Tahun 1936-1938
Setelah Perang Dunia I, 30.000 orangdiadili dan akhirnya dihukum mati oleh juru tembak terhadap 6 juta orang Yahudi, korban Holocaust di auditorium dengan mengundang beberapa ratus pengamat yang diundang khusus dari seluruh penjuru dunia.
– Pengadilan Di Nurenberg
Sejumlah pemimpin Nazi mendapat hukuman pada 30 September 1946 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (penjahat perang). Bukti-bukti atas kejahatan 901 dilakukan oleh orang jerman dituntut di Leipzing, 888 orang dinyatakan tidak bersalah dan 13 orang yang dinyatakan bersalah diperbolehkan untuk keluar dari penjara.
– Pengadilan Tokyo, atas dasar keadilan pemenang
Jenderal Mac Arthur yang telah menguasai daerah jepang untuk membebaskan penjahat perang dan bahkan kewajiban retribusi dari Kaisar Hirohito. Ia merupakan penjahat perang paling buruk yang selamat dan secara pribadi menyetujui semua tindakan barbar dari advonturir militer negaranya.
*c. Mahkamah Militer Internasional*
Pengadilan terhadap pejabat tinggi Jerman di hadapan Mahkamah Militer Internasional (IMT), yang merupakan pengadilan kejahatan perang pasca perang yang paling terkenal, dibuka secara resmi di Nuremberg, Jerman, pada tanggal 20 November 1945.
Setelah debat panjang, dipilihlah 24 terdakwa (hanya 21 terdakwa yang hadir dalam sidang) untuk mewakili pemimpin bidang diplomasi, ekonomi, politik dan militer Nazi yang saling silang. Adolf Hitler, Heinrich Himmler, dan Joseph Goebbels tidak pernah menjalani persidangan, karena telah bunuh diri sebelum perang berakhir. IMT mendakwa para pesakitan ini atas tuduhan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selanjutnya, PBB telah menciptakan dua pengadilan tidak tetap lainnya untuk menangani kejahatan perang dan genosida tertentu. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) diciptakan untuk mengadili orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan perang di Balkan selama konflik pada 1990-an. Ada pula International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ini diciptakan untuk orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas tindakan genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda antara 1 Januari dan 31 Desember 1994.
*11. Hukum Pidana Nasional*
– Staatsblad Tahun 1946 Nomor 44 tentang Perumusan Pengertian Kejahatan Perang, nomor 45 tentang Hukum Pidana Kejahatan Perang, Nomor 46 tentang Kekuasaan Mengadili Kejahatan Perang, Nomor 47 tentang Pelaksanaan Peradilan Kejahatan Perang dan Nomor 48 tentang Korban-korban Perang.
– Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM);
– Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Pengadilan HAM);
*12. Prosedur Penegakan Hukum Pidana Internasional*
Adapaun mekanisme penanganan kejahatan perang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dang Pasal 19 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional tertanggal 17 Juli 1998 yaitu:
*Pasal 14*
Penyerahan suatu Situasi (Kasus) oleh Negara Pihak
1. Suatu Negara Pihak dapat menyerahkan kepada Penuntut Umum suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah tampak telah dilakukan sambil minta Penuntut Umum untuk menyelidiki situasi (kasus) itu dengan tujuan untuk menetapkan apakah seorang tertentu atau lebih harus dituduh telah melakukan kejahatan tersebut.
2. Sejauh mungkin, suatu penyerahan memerinci keadaan yang berkaitan dan disertai oleh dokumentasi pendukung sebagaimana hal itu tersedia bagi Negara yang menyerahkan situasi (kasus) tersebut.
*Pasal 15*
Penuntut Umum
1. Penuntut Umum dapat memulai penyelidikan proprio motu atas dasar informasi tentang kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah.
2. Penuntut Umum menganalisis keseriusan informasi yang diterima. Untuk maksud ini, ia dapat mencari informasi tambahan dari Negara, badan-badan tertentu di Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar-pemerintah atau organisasi nonpemerintah, atau sumber-sumber lain terpercaya yang dianggapnya tepat, dan dapat menerima kesaksian tertulis atau lisan di tempat kedudukan Mahkamah.
3. Kalau Penuntut Umum menyimpulkan bahwa ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkannya dengan penyelidikan, ia menyampaikan kepada Sidang Pra-Peradilan suatu permintaan untuk kewenangan guna melakukan penyelidikan, bersama-sama dengan suatu bahan pendukung yang dikumpulkan. Para korban dapat mengajukan wakilnya kepada Sidang Pra-Peradilan, sesuai dengan Hukum Acara dan Pembuktian.
4. Kalau Sidang Pra-Peradilan, setelah memeriksa permohonan dan bahan pendukung, menganggap ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan penyelidikan, dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam jurisdiksi Mahkamah, maka Mahkamah memberi wewenang dimulainya penyelidikan, tanpa merugikan keputusan-keputusan berikutnya dari Mahkamah berkenaan dengan jurisdiksi dan dapat diterimanya suatu kasus.
5. Penolakan Sidang Pra-Peradilan untuk memberi wewenang dilakukannya penyelidikan tidak menghalangi suatu permohonan yang kemudian diajukan oleh Penuntut Umum berdasarkan fakta-fakta atau bukti baru mengenai situasi (kasus) yang sama.
6. Kalau, setelah pemeriksaan pendahuluan yang disebutkan dalam ayat 1 dan 2, Penuntut Umum menyimpulkan bahwa informasi yang diberikan tidak merupakan dasar yang masuk akal untuk suatu penyelidikan, ia memberitahukan hal tersebut kepada orang-orang yang memberi informasi. Hal ini tidak menghalangi Penuntut Umum untuk mempertimbangkan lebih lanjut informasi yang diajukan kepadanya mengenai situasi (kasus) yang sama berdasarkan fakta atau bukti baru.
*Pasal 16*
Penundaan Penyelidikan atau Penuntutan
Tidak ada penyelidikan atau penuntutan yang dapat dimulai atau dilanjutkan berdasarkan Statuta ini untuk jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan, dalam suatu resolusi yang diterima berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk melakukan hal itu; permohonan tersebut dapat diperbarui oleh Dewan berdasarkan kondisi yang sama.
*Pasal 17*
Masalah Dapat-Diterimanya Perkara
1. Dengan mengingat ayat 10 dari Mukadimah Statuta ini dan pasal 1, Mahkamah menetapkan bahwa suatu kasus tidak dapat diterima kalau:
a. Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali kalau Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melakukan penyelidikan atau penuntutan;
b. Kasusnya telah diselidiki oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari ketidaksediaan atau ketidak-mampuan Negara tersebut untuk benar-benar melakukan penuntutan;
c. Orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang merupakan pokok pengaduan itu, dan suatu sidang oleh Mahkamah tidak diperkenankan berdasarkan pasal 20, ayat 3;
d. Kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh Mahkamah.
2. Untuk menentukan ketidaksediaan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan, dengan mengingat prinsip-prinsip proses yang seharusnya yang diakui oleh hukum internasional, apakah satu atau lebih dari yang berikut ini ada, dan dapat diterapkan:
(a) Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan nasional diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi Mahkamah sebagaimana tercantum dalam pasal 5;
(b) Ada suatu penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dalam langkah-langkah hukum yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah;
(c) Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak, dan langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cara di mana, dalam hal itu, tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah.
3. Untuk menentukan ketidakmampuan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan apakah, disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya, Negara tersebut tidak mampu menghasilkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang perlu atau sebaliknya tidak dapat melaksanakan langkah-langkah hukumnya.
*Pasal 18*
Keputusan Pendahuluan mengenai Dapat-Diterimanya Perkara
1. Apabila suatu situasi (kasus) telah diserahkan kepada Mahkmah sesuai dengan pasal 13 (a) dan Penuntut Umum telah menentukan bahwa ada suatu dasar yang masuk akal untuk memulai suatu penyelidikan, atau Penuntut Umum memulai suatu penyelidikan sesuai dengan pasal 13 (c) dan 15, Penuntut Umum memberi tahu semua Negara Pihak dan Negara yang, dengan memperhitungkan informasi yang tersedia, secara normal akan melaksanakan jurisdiksi atas kejahatan yang bersangkutan. Penuntut Umum dapat memberi tahu Negara tersebut mengenai dasar kerahasiaan dan, di mana Penuntut Umum percaya bahwa perlu untuk melindungi orang-orang, mencegah rusaknya bukti atau larinya orang-orang tersebut secara diam-diam, dapat membatasi ruang lingkup informasi yang diberikan kepada Negara.
2. Dalam waktu satu bulan setelah diterimanya pemberitahuan itu, suatu Negara dapat memberi informasi kepada Mahkamah bahwa pihaknya sedang menyelidiki atau telah menyelidiki warga-negaranya atau orang-orang lain dalam jurisdiksinya berkenaan dengan perbuatan pidana yang dapat merupakan kejahatan yang disebutkan dalam pasal 5 dan yang berkaitan dengan informasi yang diberikan dalam pemberitahuan kepada Negara. Atas permohonan Negara tersebut, Penuntut Umum menangguhkan untuk memberi kesempatan kepada penyelidikan Negara tersebut terhadap orangorang itu kecuali kalau Sidang Pra-Peradilan, atas permohonan Penuntut Umum, memutuskan untuk memberikan wewenang penyelidikan.
3. Penyerahan oleh Penuntut Umum kepada suatu penyelidikan Negara terbuka bagi peninjauan oleh Penuntut Umum enam bulan setelah tanggal penyerahan atau pada setiap waktu ketika terjadi perubahan penting dari keadaan-keadaan yang disebabkan oleh ketidak-sediaan Negara atau ketidakmampuannya untuk melakukan penyelidikan yang sebenarnya.
4. Negara yang bersangkutan atau Penuntut Umum dapat mengajukan banding kepada Sidang Banding terhadap suatu keputusan dari Sidang Pra-Peradilan, sesuai dengan pasal 82, ayat 2. Permohonan banding itu dapat diperiksa dengan cara yang dipercepat.
5. Apabila Penuntut Umum telah menyerahkan suatu penyelidikan sesuai dengan ayat 2, Penuntut Umum dapat minta agar Negara yang bersangkutan secara periodik memberi informasi kepada Penuntut Umum mengenai kemajuan penyelidikannya dan setiap penuntutan yang diajukan kemudian. Negara Pihak harus menanggapi permintaan tersebut tanpa ditunda-tunda lagi.
6. Sambil menunggu keputusan oleh Sidang Pra-Peradilan, atau setiap saat ketika Penuntut Umum telah menyerahkan suatu penyelidikan berdasarkan pasal ini, Penuntut Umum dapat, atas suatu dasar luar biasa, berusaha memperoleh kewenangan dari Sidang Pra-Peradilan untuk mengambil langkah-langkah penyelidikan yang perlu untuk keperluan melindungi bukti di mana ada suatu kesempatan khas untuk memperoleh bukti penting atau ada suatu risiko penting bahwa bukti tersebut kemudian mungkin tidak tersedia lagi.
7. Suatu Negara yang berkeberatan atas keputusan dari Sidang Pra-Peradilan berdasarkan pasal ini dapat menantang dapat diterimanya suatu kasus di bawah pasal 19 atas dasar fakta-fakta tambahan yang perlu atau perubahan keadaan yang penting.
*Pasal 19*
Keberatan-Keberatan atas Jurisdiksi Mahkamah atau Dapat-Diterimanya suatu Kasus
1. Mahkamah harus yakin bahwa pihaknya mempunyai jurisdiksi dalam setiap kasus yang dibawa ke hadapannya. Mahkamah dapat, atas mosinya sendiri, menentukan dapat diterimanya suatu kasus sesuai dengan pasal 17.
2. Keberatan-keberatan atas dapat diterimanya suatu kasus atas dasar yang disebutkan dalam pasal 17 atau keberatan atas jurisdiksi Mahkamah dapat dilakukan oleh: (a) Seorang tertuduh atau seseorang untuk siapa suatu perintah penahanan atau panggilan untuk menghadap telah dikeluarkan berdasarkan pasal 58; (b) Suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas suatu kasus, atas dasar bahwa pihaknya sedang menyelidiki atau melakukan penuntutan terhadap kasus itu atau telah menyelidiki atau melakukan penuntutan; atau (c) Suatu Negara di mana penerimaan atas jurisdiksi merupakan persyaratan berdasarkan pasal 12.
3. Penuntut Umum dapat mengupayakan keputusan dari Mahkamah mengenai persoalan jurisdiksi atau dapat diterimanya pengaduan. Dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan jurisdiksi atau dapat diterimanya pengaduan, mereka yang telah mengajukan pengaduan berdasarkan pasal 13, maupun korban, juga dapat mengajukan observasi kepada Mahkamah.
4. Dapat diterimanya suatu kasus atau jurisdiksi dari Mahkamah hanya dapat ditantang sekali saja oleh seseorang atau Negara yang dimaksud dalam ayat 2. Keberatan itu berlangsung sebelum atau pada permulaan pengadilan. Dalam keadaan luar biasa, Mahkamah dapat memberi peluang diajukannya lebih dari sekali atau pada waktu yang lebih belakangan setelah dimulainya pengadilan. Keberatan terhadap dapat diterimanya suatu kasus, pada permulaan pengadilan, atau kemudian dengan izin yang diberikan oleh Mahkamah, hanya dapat didasarkan pada pasal 17, ayat 1(c).
5. Suatu Negara yang dimaksudkan dalam ayat 2(b) dan (c) mengajukan keberatan pada kesempatan sedini mungkin.
6. Sebelum konfirmasi terhadap tuntutan, keberatan atas dapat diterimanya suatu kasus atau keberatan terhadap jurisdiksi Mahkamah diajukan kepada Sidang Pra-Peradilan. Setelah dilakukan konfirmasi, tuduhan-tuduhan itu diteruskan kepada Sidang Mahkmah. Keputusan-keputusan berkenaan dengan jurisdiksi atau dapat diterimanya pengaduan dapat dimintakan banding kepada Sidang Banding sesuai dengan pasal 82.
7. Kalau suatu keberatan diajukan oleh suatu Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2(b) atau (c), Penuntut Umum menangguhkan penyelidikan sampai saat ketika Mahkamah mengambil ketentuan sesuai dengan pasal 17.
8. Sambil menunggu keputusan Mahkamah, Penuntut Umum dapat mengupayakan kewenangan dari Mahkamah: (a) untuk melakukan langkah-langkah penyelidikan yang perlu dari jenis yang tercantum dalam pasal 18, ayat 6; (b) untuk membuat pernyataan atau kesaksian dari seorang saksi atau melengkapi pengumpulan dan pemeriksaan bukti yang telah dimulai sebelum diajukannya keberatan; dan (c) bekerja sama dengan Negara yang bersangkutan, mencegah orang-orang agar tidak melarikan diri dengan diam-diam terhadap siapa Penuntut Umum telah mengajukan perintah penahanan berdasarkan pasal 58.
9. Diajukannya keberatan tidak boleh mempengaruhi keabsahan suatu perbuatan yang dilaksanakan oleh Penuntut Umum atau suatu perintah atau tuntutan yang dikeluarkan oleh Mahkamah sebelum diajukannya keberatan.
10. Kalau Mahkamah memutuskan bahwa suatu kasus tidak dapat diterima berdasarkan pasal 17, Penuntut Umum dapat mengajukan suatu permohonan untuk meninjau keputusan apabila ia merasa yakin benar bahwa fakta-fakta baru telah timbul yang menghapuskan dasar di mana kasus itu sebelumnya telah ditemukan sebagai tidak dapat diterima berdasarkan pasal 17.
11. Kalau Penuntut Umum, setelah mempertimbangkan masalah-masalah yang tercantum dalam pasal 17, menangguhkan suatu penyelidikan, Penuntut Umum dapat minta Negara tersebut untuk memberikan informasi kepada Penuntut Umum mengenai proses perkara. Informasi itu, atas permintaan Negara yang bersangkutan, dapat bersifat rahasia. Kalau Penuntut Umum setelah itu memutuskan untuk melanjutkan suatu penyelidikan, ia memberi tahu Negara tersebut mengenai proses perkara di mana penangguhan telah terjadi.
*13. Kesimpulan*
1. Bahwa yang berwenang menentukan Invasi dari satu negara ke negara lain termasuk kategori kejahatan perang serta pemimpin negara yang memerintahkan terjadinya Invasi sebagai penjahat perang ditentukan dan diputuskan oleh Badan Peradilan Internasional, bukan berdasarkan interpretasi maupun pendapat sepihak dari siapapun;
2. Peperangan dari persepektif apapun tidak membawa manfaat dan menguntungkan pihak manapun, justru malah menimbulkan kerugian yang sangat besar baik berupa kehilangan nyawa warga sipil maupun militer termasuk anak-anak dibawah umur serta mengakibatkan kehancuran atau rusaknya infrastruktur dan suprastruktur negara;
3. Masyarakat internasional pada umumnya, khususnya Indonesia sangat menantikan terjadinya penyelesaian peperangan secara damai melalui kesepakatan bilateral maupun multilateral dengan mempergunakan jasa-jasa baik (good offices) baik dari negara-negara tertentu maupun perantara organisasi Internasional;
4. Indonesia yang menjadi ketua (presidensi) G20 diharapkan dapat menginisiasi dan mengambil peranan penting untuk merumuskan kesepakatan perdamaian antara Rusia dan Ukraina melalui “informal talk” antara Presiden Jokowi dengan Presiden Valdmir Putin maupun dengan melibatkan mitra strategis Rusia yaitu China;
*14. Sumber Rujukan*
Dr. H.R Abdussalam, SIK, S.H, M.H dengan judul: Hukum Pidana Internasional, Restu Agung Jakarta, 2006
Dr, Yustina Trihoni Nalesti Dewi, S.H., M.Hum dengn judul: Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, PT RajaGrafindo Persada, 2013.
Amis Widyawati, S.H., M.H. dengan judul: Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, 2014.
Prof. KGPH Haryimataram, S.H, dengan judul: Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, 2012
M. Cherrif Bassiouni dalam Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional : Dalam Teori dan Praktek, Andalas University Press, Padang, 2006, hlm 66.
http://scholar.unand.ac.id/28976/2/BAB%20I.pdf
http://repository.unpas.ac.id/35816/6/BAB%20II.pdf
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Unsur-Unsur-Kejahatan-Pada-Statuta-Roma.pdf
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf
https://republika.co.id/berita/oayuc717/serbaserbi-pengadilan-internasional#:~:text=Negara%20anggota%20PBB%20telah%20menetapkan,Pengadilan%20Internasional%20untuk%20Hukum%20Laut.
https://dunia.tempo.co/read/1571523/belum-ada-kepastian-akhir-perang-rusia-ukraina/full&view=ok
https://www.kompas.com/global/read/2022/03/01/174500170/rusia-sebut-akan-terus-serang-ukraina-sampai-semua-tujuannya-ini-tercapai?page=all
https://www.kompas.com/global/read/2022/03/25/221208970/rusia-umumkan-1351-tentaranya-tewas-sedangkan-ukraina-14000
https://www.tribunnews.com/internasional/2022/03/15/kemenkes-ukraina-rusia-rusak-104-rumah-sakit-34-kendaraan-medis
https://www.kompas.com/global/read/2022/03/26/121800370/rusia-sebut-di-donbas-55310-fasilitas-rusak-akibat-serangan-ukraina?page=all