MEMAHAMI _”WHITE COLLAR CRIME

Spread the love

Oleh:
M. Jaya, S.H.,M.H., M.M. dan Alungsyah


*Pengantar*

Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak memahami apa itu kejahatan kerah putih atau _White Collar Crime_. Kejahatan Kerah Putih bukanlah kejahatan yang sifatnya baru, bahkan kejahatan ini sudah lama dikenal dan terjadi dibelahan dunia dan di Indonesia. Sifat dan karakteristiknya-pun berbeda dengan kejahatan lainnya, baik dari status dan kedudukan pelakunya maupun cara melakukannya. Tulisan ini bersifat analisis yuridis yang ditujukan kepada para pembaca, guna memberikan pemahaman dan menambah wawasan kita semua dengan uraian sebagai berikut:

*1. Sejarah Singkat Dan Definisi _White Collar Crime_*

White Collar Crime secara historis berasal dan berkembang di negara barat (Amerika Serikat), dipopulerkan oleh pakar sosiologi negara tersebut serta bertitik tolak pada sosio-kultur masyarakat barat.

Bentuk kejahatan ini muncul sekitar tahun 1939 di Amerika Serikat, semata-mata merupakan kejahatan yang berkaitan dengan pola prilaku dikalangan pengusaha dan politisi.

Kajian _White Collar Crime_ sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya.

_Dictionary of Criminal Justice Data Terminology_ mendefinisikan _White Collar Crime_ sebagai _non violence crime_ dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang dilakukan dengan cara menipu, oleh orang yang memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha, profesional atau semi profesional dan dengan menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya.

Atau perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan financial menggunakan tipu muslihat dan dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan khusus dan pengetahuan profesional atas perusahaan dan pemerintahan, terlepas dari pekerjaannya.

Penelitian tentang _White Collar Crime_ pertama kali dirintis pada tahun 1916 oleh seorang penganut paham Marxist Jerman yang bernama Willem Bonger, dimana dalam bukunya _“Criminality and Economic Conditions”_ ia mencoba untuk membangun suatu teori tentang kejahatan yang menggabungkan antara tindak kejahatan jalanan dan tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang ber-dasi dan jas.

Inti dari teori Willem Bonger adalah bahwasanya kapitalisme telah melahirkan suatu sikap egoism dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan jahat yang tumbuh dan berkembang di kalangan kaum borjuis saat itu.

Selanjutnya, teori Kriominologi yang menghubungkan antara teori Sutherland dan Willem Bonger menekankan pada aspek status kelas sosial ekonomi pelaku _White Collar Crime_ sebagai sebuah variabel kritis yang hendak diamati.

Konsepsi mengenai _White Collar Crime_ oleh Edwin H. Sutherland selengkapnya didefinisikan sebagai :
_a violation of criminal law by the person of the upper socio-economic class in the course of his occupational activities_ (suatu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki status sosial tinggi dan dihormati yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Artinya, bentuk kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu tertentu dan khusus. Kekhususan tersebut terletak pada status sosial ekonomi yang bersangkutan, yang berasal dari kalangan ekonomi atas dan berkaitan dengan aktivitas pekerjaannya dan/atau jabatan yang bersangkutan.

Lebih jauh lagi, Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa _White Collar Crime_ merupakan suatu bentuk kejahatan yang berkaitan dengan pelanggaran atas kepercayaan yang dimiliki oleh si pelaku melalui pekerjaannya tersebut sehingga mengakibatkan disorganisasi sosial atau kerugian yang sedemikian besar.

*2. Ciri-Ciri _White Collar Crime_*

Adenan mengemukakan beberapa ciri-ciri dari tindak kejahatan _White Collar Crime,_ yakni:

1. Pelaku kejahatan _White Collar Crime_ memiliki keahlian atau menguasai ilmu pengetahuan atau teknologi tertentu dengan baik.

2. Status sosial pelaku tindak kejahatan _White Collar Crime_ cukup baik, artinya : sebagai seorang pejabat yang memiliki kewenangan.

3. Merupakan individu atau korporasi yang cukup mampu dalam perekonomian.

4. Memiliki tujuan untuk mencari atau memperoleh suatu keuntungan tertentu.

5. Modus operandi memiliki berbagai variasi.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo (Harkristuti Harkrisnowo, 2004; hal 2-4) terdapat beberapa karakteristik yang melekat pada tindak kejahatan kerah putih antara lain:

1. tidak kasat mata _(low visibility);_

2. sangat kompleks _(complexity);_

3. ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana _(diffusion of responsibility);_

4. ketidakjelasan korban _(diffusion of victims);_

5. aturan hukum yang samar atau tidak jelas _(ambiguous criminal law);_ dan

6. sulit dideteksi dan dituntut _(weak detection and prosecution)._

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai karakter tindak kejahatan kerah putih, maka dapat dicermati kerangka kejahatan kerah putih yang diperkenalkan Laura Snider, Pertama, pelanggaran hukum yang dilakukan merupakan bagian atau terkait erat dengan jabatan resmi. Hal ini telah dijelaskan, yaitu sebagai instrumen pokok yang memungkinkan kejahatan dapat dilaksanakan.

Kedua, melibatkan pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan. Apa yang dilakukan oleh para pelaku tersebut merupakan _violation of public trust,_ yaitu pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.

Pelanggaran ini secara otomatis juga identik dengan penyalahgunaan kekuasaan _(abuse of power),_ dan cacat moral yang dapat menggoncangkan sendi-sendi moralitas masyarakat.

Ketiga, tidak ada paksaan fisik secara langsung, meskipun kerugian yang ditimbulkan banyak mencederai fisik banyak orang. Dalam kasus-kasus tindak kejahatan kerah putih yang kini sebagian menjalani proses hukum di negara kita, hampir dapat dipastikan tidak ada unsur paksaan secara fisik, kendatipun kerugian negara secara fisik cukup luar biasa.

Keempat, tujuannya adalah uang, prestise, dan kekuasaan. Ketiga hal inilah menjadi tujuan hampir semua tindak pidana korupsi, baik yang terorganisir maupun tidak. Kelima, secara khusus terdapat pihak-pihak yang sengaja diuntungkan dengan kejahatan itu.

Dilihat dari sifat terorganisirnya, maka sudah barang tentu terdapat pihak-pihak yang secara strategis akan memperoleh keuntungan lebih besar, dan oleh karenanya rela melakukan berbagai macam cara agar kejahatan ini tidak terungkap.

Maka dari itu, yang keenam karakter tindak kejahatan kerah putih, menurut Laura Snider, adalah adanya usaha untuk menyamarkan kejahatan yang dilakukan, dan upaya menggunakan kekuasaan untuk mencegah diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku.

*3. Unsur-Unsur _White Collar Crime_*

Suatu tindak pidana dikatakan sebagai _White Collar Crime,_ harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum

2. Merugikan Masyarakat dan atau Negara

3. Dilarang oleh aturan hukum pidana

4. Perbuatannya diancam dengan pidana

5. Dilakukan oleh orang-orang tertentu

*4. Jenis-Jenis _White Collar Crime_*

Dalam kajian kriminologi mengenai _White Collar Crime,_ kejahatan kerah putih di sektor publik termasuk diantaranya adalah korupsi/penggelapan/money politic, melanggar hak warga negara, penyalahgunaan kekuasaan, penipuan/ pembohongan publik, pembunuhan lawan politik, pelanggaran oleh aparat (militer dan atau polisi), dan pelanggaran prinsip pemilihan umum.

Green memberikan uraian mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan kerah putih atau _White Collar Crime_ yakni perdagangan saham oleh orang dalam, konspirasi antitrust dalam pembatasan perdagangan, mengetahui pemeliharaan dari kondisi tempat kerja yang membahayakan kesehatan, dan penipuan oleh dokter terhadap program pemanfaatan medis.

Ukuran yang digunakan untuk membedakan seseorang melakukan kejahatan kerah putih dari kejahatan lainnya adalah, bahwa tindakan yang dilaksanakan merupakan bagian dari peran jabatan yang dilanggar; suatu peran yang biasanya menempati dunia bisnis, politik, atau profesi.

Contoh lainnya dari _White Collar Crime_ antara lain malpraktek oleh dokter, pengacara atau notaris, korupsi di kalangan pejabat, kolusi penguasa dengan pengusaha, iklan yang menyesatkan, persaingan curang, manipulasi pajak, makanan dan obat-obatan yang membahayakan lingkungan.

*5. Perbedaan _White Collar Crime_ Dan Tindak Pidana Biasa*

Perbedaan utama antara _White Collar Crime_ dan tindak pidana biasa antara lain terletak pada pelakunya dan penggunaan harta hasil kejahatan yang dilakukan serta cara kerjanya.

Pelakunya pada kejahatan yang tegolong _White Collar Crime_ adalah dilakukan oleh orang yang tergolong intelektual dan terkait dengan pengaruh kekuasaan, jabatan serta keuangan dan dengan pengaruh tersebut mereka lantas beranggapan bahwa “mereka kebal terhadap hukum, dan cemooh masyarakat.

Pada tindak pidana biasa pelakunya tidak tergolong kelompok intelektual mereka termasuk orang kebanyakan yang tidak memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun dalam badan usaha.

Penggunaan hasil kejahatan yang termasuk _White Collar Crime_ biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder seperti, mobil mewah, rumah mewah membeli barang-barang lux, investasi tanah, disimpan di Bank dalam negeri maupun luar negeri dan lain-lain. Sedang pada kejahatan biasa hasil yang diperoleh biasanya hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum, serta kebutuhan biologis lainnya.

Beberapa karakteristik _White Collar Crime_ yang membedakannya dengan kejahatan lain, yaitu: Pelaku sulit diidentifikasi. Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak akan sadar.

a. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu.

b. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan.

c. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan.

d. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak.

e. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan.

f. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan.

g. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.

Para kriminolog membedakan antara kejahatan hukum adat/kejahatan konvensional _(Common Law Crime),_ kejahatan kerah putih _(White Collar Crime atau juga biasa disebut Occupational Crime)_ dan kejahatan remaja _(Adolescent Crime)._

_Common Law Crime_ adalah kejahatan yang dianggap oleh semua orang sebagai kejahatan misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penyerangan.

Sedangkan _White Collar Crime/Occupational Crime_ adalah kejahatan umum oleh orang-orang dari kalangan bisnis, pekerja, politikus, dan lain-lain dalam hubungannya dengan okupansi (pekerjaan) mereka.

Hal ini sesuai dengan pendapat Geis dan Goff yang memberikan syarat bagi bentuk kejahatan _White Collar Crime,_ dimana pelaku bentuk kejahatan tersebut biasanya dilakukan oleh kalangan orang-orang terhormat.

Selain _White Collar Crime_ ada bentuk kejahatan lainnya salah satunya adalah _Blue Collar Crime_ dimana tindak kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan kelas sosial bawah. Pelanggaran hukum atau penyimpangan sosial ini tidak memiliki klasifikasi hukum secara resmi sehingga dalam sosiologi kriminalitas dianggap sebagai kelompok kejahatan umum.

Kejahatan kerah biru identik dengan kekerasan dan pelanggaran hukum skala kecil lainnya.

_Blue Collar Crime_ memiliki beberapa ciri khas yang melekat dan dapat dikenali dengan mudah. Ciri yang pertama adalah perilaku kejahatan dilakukan di ruang lingkup skala kecil, misalnya di area sekitar tempat tinggal pelaku.

Selanjutnya, tindak kejahatan kerah biru ini dilakukan demi keuntungan individu dan kelompok yang terlibat di dalamnya. Misalnya kejahatan yang dilakukan oleh geng motor atau sekelompok preman.

Kemudian, kejahatan kerah biru biasanya mencakup kejahatan demi kepentingan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor reaksi langsung atau adanya kesempatan pada saat itu seperti dalam perkelahian atau konfrontasi. Berikut ini adalah beberapa contoh _Blue Collar Crime_ yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun contohnya ialah pembunuhan, Kekerasan atau pelecehan seksual, Perampokan dengan senjata, Vandalisme atau perusakan fasilitas, Mengutil, pencopetan, pembegalan, perampokan, pencurian, dan lain-lain.

*6. Modus Operandi _White Collar Crime_*

Dalam penelitian mengenai modus operandi tindak kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh John Braithwaite dinyatakan bahwa para pelaku tindak kejahatan kerah putih sering kali mampu berkelit dari perbuatan pidana yang dilakukannya dengan cara bersembunyi dibalik struktur kelas ekonomi dan status sosialnya dan lebih cenderung untuk menyalahkan dan mengkambinghitamkan individu-individu dengan status sosial yang lebih rendah, dimana notabene merupakan anak buah atau bawahan dari pelaku kejahatan kerah putih tersebut.

Selain itu Modus operandi dari kejahatan kerah putih atau _White Collar Crime,_ dilakukan secara terselubung, terorganisir dan berdasarkan suatu keahlian yang dimiliki oleh seseorang

Sumber Rujukan:
• Sutherland, Edwin H.1945.Is `White Collar Crime`Crime?. American Sociological Review, vol 10 no.2, hal 132-139.

• Hanafi, Politik Kriminal Terhadap White Collar Cime, diakses dari www.researchgate.net p

• Harkrisnowo, Harkristuti. 2004. “Transnational Organize Crime:DalamPerspektif Hukum Pidana dan Kriminologi”. Jurnal HukumInternasional (Vol. 1, No. 2). Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

• Bisnis kotor : (anatomi kejahatan kerah putih) / Munir Fuady Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004

• Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008

• Symposium: Punishment || White-Collar Crime and Civil Sanctions.

• Geis Gilbert dan Colin golf, White Collar Crime : The Uncut Version Edwin H. Shuterland (New Heaven And London :Yale university Press,

• Encyclopedia of Criminological Theory Sutherland, Edwin H.: White-Collar Crime

• Siahaan. Jokie M.S Perilaku Menyimpang pendekatan sosiologi

• John Braithwaite, anuual review of Sociology, Vol. 11. (1985),pp.1-25,

• Made Sugi Hartono Mahasiswa Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, KORUPSI KEBIJAKAN OLEH PEJABAT PUBLIK (SUATU ANALISIS PERSPEKTIF KRIMINOLOGI), Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016.