ANALISIS YURIDIS, KEKERASAN SEKSUAL DAN PREDATOR SEX, KASUS JOMBANG DAN JULIANTO “AS CASES STUDY

Spread the love
Oleh:
M. Jaya, S.H.,M.H., M.M. & Alungsyah, S.H.

*PENGANTAR*
Sejumlah dugaan kasus pelecehan seksual terhadap santri/santriwati maupun siswa dan siswi dari lembaga pendidikan oleh pengasuh/pendidik hingga pemilik pondok pesantren/sekolah terjadi di berbagai wilayah. Pesantren/sekolah yang seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi para santri/santriwati maupun siswa/siswi justru dimanfaatkan pengasuh/pendidik untuk melakukan kekerasan seksual maupun eksploitasi terhadap anak. Salah satu yang menghebohkan adalah kasus yang melibatkan pimpinan salah satu yayasan pesantren di Kota Bandung, Herry Wirawan. Ia memperkosa belasan santri sejak tahun 2016.

Pada tingkat pertama Herry Wirawan terbukti melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati yang seharusnya dia didik. Pada pengadilan negeri Bandung majelis hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup. Kemudian Pengadilan Tinggi (PT) Bandung akhirnya mengakomodir tuntutan jaksa dengan memperberat vonis terhadap Herry yaitu menjatuhkan pidana mati dan juga membebankan kepada Herry untuk membayar uang restitusi atau pengganti. Dalam putusan itu, biaya restitusi yang harus dibayarkan mencapai Rp 300 juta. Tiap korban menerima restitusi dengan nominal yang beragam.

Sebagai tindak lanjut dari kewajiban membayar biaya restitusi, majelis hakim juga dipastikan bakal merampas aset milik Herry. Aset yang dimaksud termasuk Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Madani Boarding School, dan Ponpes Tahfidz Madani.

_”Dapat dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan biaya pendidikan dan hidup anak-anak korban hingga dewasa atau menikah,”_

Akhir-akhir ini mulai terungkap berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren dan Sekolah. Terbaru yang heboh adalah kasus pencabulan yang dilakukan anak kiai pengasuh pondok pesantren Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur berinisial MSAT atau Mas Bechi.

Bagaimana tidak, aparat kepolisian sampai harus mengepung dan menyisir area Pesantren Shiddiqiyah, untuk mencari tersangka pencabulan santriwati tersebut. Saat ini tersangka kasus pencabulan santriwati, Moch Subchi Azal Tani alias Mas Bechi (42) dibawa ke Polda Jawa Timur di kemudian dibawa ke Rutan Medaeng, Sidoarjo. Di Rutan Klas 1 Surabaya untuk dilakukan penahahan.

Kemudian kasus pelecehan seksual baru ini juga terungkap ke publik yang terjadi di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur. Nama Julianto Eka Putra kini tengah menjadi sorotan publik ketika inisial nama ‘JE’ muncul ke permukaan sebagai terduga pelaku pelecehan seksual. Kabar ini mulai panas ketika dua orang korban kasus pelecehan yang diduga dilakukan Julianto Eka Putra buka suara melalui kanal YouTube Podcast Deddy Corbuzier, yang diunggah pada Rabu, 6 Juli 2022 lalu.

Julianto Eka Putra adalah seorang pebisnis sekaligus motivator yang juga pendiri sekolah tingkat SMA yang diberi nama Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang menaungi anak-anak kurang mampu dan yatim piatu.

Korban kekerasan seksual oleh Julianto diperkirakan mencapai puluhan orang. Aksinya ini diketahui sudah berjalan sejak 2009. Ia menjadi terdakwa dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur.

JEP ditangkap di rumahnya di kawasan Citraland oleh petugas gabungan Kejati Jatim dan Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim. Proses eksekusi tersebut tak berjalan mulus, keluarga JEP sempat menolak memberikan perlawanan hingga akhirnya mereka mau menurut dan membiarkan JEP ditangkap. Kepala Kejati Jatim Mia Amiati mengatakan, penangkapan terhadap pendiri Sekolah SPI itu dilakukan setelah terbitnya surat penetapan melakukan penahanan dari Majelis Hakim. Julianto Eka Putra dibawa ke Lowokwaru, Malang guna menjalani penahanan yang berlangsung pada Senin, 11 Juli 2022,

Tulisan ini merupakan kajian yuridis dari perspektif Hukum pidana, apa makna kekerasan seksual, tempat dan pengaturannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan apa yang menjadi faktor penyebab lambannya proses penegakan hukum dari kasus tersebut. Tulisan ini dibuat berdasarkan data dari media sosial, literatur-literatur hukum dan pendapat para pakar.

*1. MAKNA KEKERASAN SEKSUAL*

Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan seksual merupakan semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban (WHO, 2017).

Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuraran anak (UNICEF, 2014).

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Dalam Pasal 1 angka 15a Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentag Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: _“Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”._

Bahwa dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan: _“Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini”._

*2. TEMPAT DAN PENGATURAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK*

Sebenarnya pengaturan kekerasan Seksual terhadap anak terdapat ketentuannya dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, misalnya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentag Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan terbaru yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta KUHP dan Peraturan-Peraturan lainnya.

Berangkat dari itu, maka terhadap kejahatan seksual yang terjadi dengan melibatkan anak kiai bernama Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi di Jombang dan seorang motivator sekaligus pendiri SMA SPI bernama Julianto Eka Putra di Kota Batu, Jawa Timur dapat kami uraikan sebagai berikut:

*• KASUS MAS BECHI*

Polda Jatim telah menyerahkan barang bukti dan tersangka kasus pencabulan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Bechi terancam hukuman penjara hingga 12 tahun.

_”Kami dari kejaksaan siang hari ini menerima tahap kedua penyerahan tersangka dan barang bukti,”_ kata Aspidum Kejati Jatim, Sofyan Sele, saat konferensi pers di Rutan Kelas I Surabaya yang berlokasi di Medaeng Sidoarjo seperti dilansir dari detikJatim, Jumat 8 Juli 2022.

Sofyan mengatakan Bechi terancam hukuman penjara hingga 12 tahun dan akan didakwa dengan tiga dakwaan.

“Tersangka ini akan kami dakwakan Pasal 285 KUHP jo Pasal 65 KUHP ancaman pidana 12 tahun atau kedua Pasal 289 KUHP jo Pasal 65 ancaman pidana 9 tahun atau Pasal 294 ayat 2 KUHP jo Pasal 65 KUHP dengan ancaman pidana 7 tahun,”

Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut di atas beserta unsur-unsurnya akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini dan terhadap pasal yang memiliki unsur yang sama tidak dibahas lebih lanjut:

*a. Pasal 285 KUHP jo Pasal 65 KUHP:*
_“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”._

*Adapun unsur-unsurnya ialah:*
*• Barang siapa:*
Barang siapa menunjuk kepada siapa saja yang dapat dikenakan dalam ketentuan ini, barang siapa merupakan orang/manusia, dalam hal ini ialah sipelaku kejahatan yaitu Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi.

*• Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan*
adalah dengan cara melakukan kekuatan badan atau perbuatan membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pingsan atau tidak berdaya itu adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku yaitu Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi.

Kekerasan, adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam. Sedangkan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan.

*• Memaksa*
Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dilakukan dengan ucapan. Dalam delik perkosaan ini seorang perempuan dipaksa sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu. Dalam konteks ini paksaan itu dilakukan oleh pelaku yaitu Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi terhadap korbannya seorang wanita/santriwati.

*• Wanita itu bukan isterinya/di luar perkawinan.*
Perempuan tersebut bukanlah merupakan istrinya, “Di luar perkawinan” berarti di luar perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini ditentukan bahwa _perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu._ Dalam hal ini pelaku Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi telah memperkosa perempuan yang bukan istrinya.

*b. Pasal 289 KUHP jo Pasal 65 KUHP:*
_“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”._

*Adapun unsur-unsurnya ialah:*
• Barang siapa
• Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
• Memaksa
• untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pengertian perbuatan cabul, menurut R. Soesilo, adalah “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Dalam hal ini pelaku Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi telah melakukan perbuatan cabul terhadap santriwati dengan cara sedmikian rupa.

*c. Pasal 294 ayat (2) KUHP jo Pasal 65 KUHP:*
_(2) Diancam dengan pidana yang sama:_
_1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya;_

_2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pen- didikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya._

*Adapun unsur-unsurnya ialah:*
*Ad.1:*
• pejabat (pegawai negeri)

• yang melakukan perbuatan cabul (tindakan melanggar kesusilaan);

• dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya (yang menurut jabatan berada di bawah perintahnya), atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

• Suatu hal yang penting berkenaan dengan Pasal 294 ayat (2) ke 1 KUHP ini yaitu korban “dapat pula mengenai orang yang dewasa”. Hal ini dengan melihat tidak ada pembatasan dengan penyebutan syarat “belum dewasa”, sehingga korban dalam Pasal 294 ayat (2) ke 1 KUHP dapat berupa baik seorang yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa.

*Ad.2:*
Pada pasal 294 ayat (2) ke-2 Moch Subchi Azal Tani alias Mas Bechi bertindak sebagai guru dalam melakukan aksi bejatnya ditempat pendidikan yaitu Pondok pesantren Shiddiqiyah, Jombang Jawa Timur. Dengan demikian unsur-unsur dalam Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP terpenuhi.

Dengan demikian perbuatan yang dilakukan oleh Mas Bechi berdasarkan dari semua unsur-unsur dalam ketentuan Pasal-pasal tersebut diatas telah terpenuhi.

*• KASUS JULIANTO EKA PUTRA*
kekerasan yang dilakukan oleh JEP tidak hanya dalam bentuk kekerasan seksual, tetapi juga kekerasan fisik, kekerasan non fisik, dan eksploitasi ekonomi terhadap para korban. Dalam perkara ini, JPU Kejaksaan Negeri Kota Batu menjerat JEP dengan pasal alternatif. Ia terancam hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.

JEP didakwa dengan sejumlah pasal yakni Pasal 81 ayat 1 jo Pasal 76D Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian, Pasal 81 ayat 2 UU tentang Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, Pasal 82 ayat 1, juncto Pasal 76E UU Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 294 ayat 2 ke-2 KUHP, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut di atas beserta unsur-unsurnya akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini dan terhadap pasal yang memiliki unsur yang sama tidak dibahas lebih lanjut:

*a. Pasal 81 ayat 1 jo Pasal 76D Undang-Undang tentang Perlindungan Anak*

*Pasal 81 ayat (1):*
_Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)._

*Pasal 81 ayat (2):*
_Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain._

*Pasal 76D:*
_Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain._

*Adapun unsur-unsurnya ialah:*

*• Setiap orang:* Berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU Perlindungan Anak, mengatur: _Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Orang perseorangan atau korporasi dapat juga disebut sebagai subyek hukum._ Setiap orang dalam hal ini pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu Julianto Eka Putra;

*• melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan:*
dalam hal ini Julianto Eka Putra telah melakukan pencabulan/pemerkosaan terhadap anak dengan cara melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan korbannya ketakutan dan tak berdaya;

*• memaksa:* Terhadap unsur “memaksa”, Leden Marpaung (1996, hal. 52- 53) berpendapat bahwa “perbuatan memaksa haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa yang tidak saja menimbulkan rasa takut terhadap orang lain, melainkan menyebabkan korban dari perbuatan memaksa tersebut menjadi tidak berdaya untuk menghindarinya”. Dalam kasus ini Julianto Eka Putra telah melakukan pemaksaan terhadap para korbannya agar memenuhi kemauannya;

*• Anak:* Unsur “anak” dalam Pasal ini secara khusus menyebutkan bahwa perbuatan dalam Pasal 76D UU Perlindungan Anak secara khusus ditujukan kepada anak. Yang artinya, korban perbuatan asusila dalam Pasal ini adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan;

*• Persetubuhan:* Terhadap unsur “persetubuhan” sebagai perbuatan yang “memasukkan kelamin pria ke kemaluan wanita. Dalam hal ini Pelaku Julianto Eka Putra telah melakukan pemerkosaan kepada korbannya dengan cara memasukan alat kelaminnya ke kemaluan wanita/anak;

*b. Pasal 82 ayat 1, juncto Pasal 76E UU Perlindungan Anak*

*Pasal 82 ayat (1):*
_Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)._

*Pasal 76E:*
_Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul._

*Adapun unsur-unsurnya ialah:*

*• Unsur “melakukan” atau “membiarkan melakukan”:* Adami Chazawi (2005, hal. 79) menjelaskan bahwa unsur “melakukan” ditujukan pada korban yang melakukan perbuatan cabul. Sedangkan unsur “membiarkan dilakukannya” ditujukan pada pelaku yang secara aktif melakukan perbuatan cabul pada korban tersebut, dan dalam hal ini, korban bersifat pasif. Dalam kasus ini, Julianto Eka Putra melakukan perbuatan kepada korbannya dengan cara melepas celananya dan meraba badan, dan memasukan kelaminnya.

*• Unsur melakukan tipu muslihat,* melakukan serangkaian kebohongan: Tipu Muslihat adalah serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk membuat persepsi keliru dari keadaan sebenarnya sesuai dengan tujuan dari pelaku pembuat tipu muslihat. Dalam hal ini Julianto Eka Putra telah melakukan tipu muslihat dan kebohongan dengan cara selalu mengatakan kepada korbannya tidak akan jadi orang bagi korbannya yang melawan dan Hanya dia yang bisa membuat korbannya jadi orang, bisa jadi pengusaha;

*• Unsur “perbuatan cabul”:* Perbuatan cabul adalah: “Semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan yang dilakukan secara keji yang melanggar kesusilaan (kesopanan) yang kesemuanya di lakukan dalam lingkungan nafsu birahi”. Contoh perbuatan melanggar norma kesusilaan ini dengan “bertelanjang, berciuman, memegang alat kelamin, atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penis atau vaginanya”. Dalam kasus ini, kesemua contoh di atas dilakukan oleh Julianto Eka Putra terhadap korbannya.

Dengan demikian perbuatan yang dilakukan oleh Julianto Eka Putra berdasarkan dari semua unsur-unsur dalam ketentuan Pasal-pasal tersebut diatas telah terpenuhi.

*3. FAKTOR PENGHAMBAT PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN*

Berdasarkan pemberitaan media online, kasus pelecehan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren telah lama terjadi yaitu sejak tahun 2012 silam, hanya saja korban tidak berani untuk melaporkan kejadian itu ke Polisi dengan alasan dilarang orang tuanya serta adanya intimidasi dari pelaku. Proses penangkapan Mas Bechi selama ini tidak berjalan mulus. Sejak resmi ditetapkan tersangka pada 2020, polisi baru bisa menangkap dua tahun kemudian.

Bahkan, sudah 3 kali pergantian Kapolda Jatim dan 3 Kapolres Jombang selama kasus ini berjalan. Kasus dugaan pencabulan terhadap santrinya ini awalnya ditangani oleh Polres Jombang yang saat itu dipimpin AKBP Boby Pa’ludin Tambunan. Namun, dalam perjalanannya mereka 2 kali mengeluarkan surat penghentian penyelidikan. Akhirnya Polda Jatim turun tangan menangani kasus tersebut pada Januari 2020. Saat itu, Kapolda Jatim dipimpin oleh Irjen Luki Hermawan.

Ketika Irjen Luki Hermawan memimpin, Mas Bechi telah resmi ditetapkan sebagai tersangka atau DPO. Selama penyelidikan, polisi beberapa kali melakukan pemanggilan terhadap tersangka namun selalu mangkir. Pada 15 Februari 2020, polisi melakukan upaya penjemputan paksa namun tak membuahkan hasil karena dihadang oleh pihak ponpes.

Hingga pergantian kepemimpinan Kapolda Jatim kepada Irjen Muhammad Fadil Imran dan kepemimpinan Kapolres Jombang kepada AKBP Agung Setyo Nugroho pada Mei 2020, perkembangan penangkapan Mas Bechi tidak menunjukkan hasil yang signifikan dan akhirnya pada Kamis 7 Juli 2022, Mas Bechi berhasil dibekuk oleh polisi.

Begitupun Kasus pelecehan seksual yang menimpa beberapa murid SMA Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI), Kota Batu, Jawa Timur yang dilakukan oleh Pendiri SPI sekaligus motivator bernama Julianto Eka Putra. Kasus pelecehan ini telah terjadi sejak tahun 2009 silam, namun korban tidak berani untuk melaporkan ke polisi karena adanya ancaman dari pelaku.

Kasus Julianto Eka Putra berawal dari laporan pihak Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) ke Polda Jatim pada 29 Mei 2021 dan telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka pada Agustus 2021 silam, dan akhirnya menjadi terdakwa pada 16 Februari 2022. Julianto masih bebas dan tak ditahan meskipun dirinya sudah menyandang predikat terdakwa. Hingga akhirnya Julianto resmi ditahan pada 11 Juli 2022 lalu.

Dari kedua kasus tersebut di atas, pertanyaannya ialah kenapa penyelesaian proses hukumnya lambat? padahal pembuktiannya sangat sederhana dan bahkan dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP telah diatur ketentuan macam-macam alat bukti yang dapat membuktikan perbuatan dari pelaku diantaranya ialah:

*1. Keterangan Saksi;*

Alat bukti keterangan Saksi memiliki peranan penting dalam mengungkap kebenaran materiil suatu tindak pidana. Pada umumnya alat bukti keterangan Saksi merupakan alat bukti yang utama dalam perkara pidana. Hal ini tergambar jelas dengan menempatkan keterangan Saksi diurutan pertama di atas alat bukti lainnya. Kedudukan Saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci.

Menurut *Pasal 1 angka 26 KUHAP,* _“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”._

*Pasal 1 angka 27:* _“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”_

Sedangkan menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 menyatakan _arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”._

Pentingnya kedudukan Saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana yakni penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, Keterangan Saksi sebagai alat bukti menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya Terdakwa.

*2. Keterangan ahli*

Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan: _“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”_

Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang diketahui menurut pengalamannya dan pengetahuannya. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP menyatakan: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan Ahli, merupakan keahlian yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Keterangan Ahli tersebut bermacam bidangnya ada yang dapat berupa keterangan Dokter Ahli atau lazim disebut dengan Visum Et Repertum, Keterangan Ahli Laboratorium Kriminal, keterangan Ahli Ilmu Senjata Api (Balistik) Keterangan ahli dibidang Kibijakan Moneter, di bidang Kebijakan Publik dan lain sebagainya.

Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan suatu perkara pidana mempunyai 2 (dua) kemungkinan yakni bisa sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Sebagai alat bukti keterangan ahli apabila dinyatakan di sidang pengadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama yang dianutnya. Dan sebagai alat bukti surat apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaannya.

*Pasal 133 ayat (1) KUHAP:*
_dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya._

*Pasal 179 ayat (1) KUHAP:*
_Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan._

*3. Surat*
*Pasal 187 KUHAP:*

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
_a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu_

_b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;_

_c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;_

_d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain._

*4. Petunjuk*
*Pasal 188 KUHAP:*

_(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya._

_(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:_ _a. keterangan saksi;_
_b. surat;_
_c. keterangan terdakwa_

_(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya._

*5. Keterangan Terdakwa*
*Pasal 189 KUHAP:*
_(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri._

_(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya._

_(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri._

_(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus_ disertai dengan alat bukti yang lain.

*KESIMPULAN:*
Berdasarkan dari segala sesuatu yang telah kami uraikan di atas, maka bersama ini dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Orang tua wajib memeriksa secara langsung dan rutin dari waktu ke waktu perkembangan fisik dan psikis dari anak-anaknya yang disekolahkan dan di didik di Pesantrean dan sekolah tersebut;

2. Para Penegak hukum harus sadar dan menginsyafi tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengayom, pelindung dan penjaga keadilan dan konstitusi dalam menegakkan hukum dan keadilan secara tegas, transparan dan akuntable dalam memerangi kekerasan seksual dan Predator sex yang telah menghancurkan masa depan anak-anak kita dan generasi muda pada umumnya;

3. Perlu dibangkitkan kedaruratan dan early warning system terhadap Kekerasan Seksual dan Predator Sex oleh, dari dan untuk seluruh komponen bangsa dan pemerintah;

4. Penegakan hukum pidana harus bersifat rigid dan lugas tanpa memandang status dan kedudukan sosial dari pelaku;

5. Dalam dakwaannya, diharapkan JPU menuntut hukuman maksimum kepada para terdakwa dan Majelis Hakim mengabulkan tuntutan dari JPU tersebut seperti dalam kasus Herry Wirawan untuk meminimalisir timbulnya kasus seperti ini dikemudian hari;

6. Terlepas dari hal-hal tersebut di atas, seharusnya seluruh komponen bangsa melakukan tindakan preventif terhadap keberadaan lembaga pendidikan yang menampung santri/satriwati maupun siswa/siswi dengan melakukan fungsi kontrol secara rutin berkesinambungan oleh unsur-unsur masyarakat maupun perangkat pemerintah di mulai dari, RT, RW, Babinsa, Babinkamtibnas, Koramil, Polsek, Polres, Kodim, Korem, sampai ketingkat Polda serta elemen masyarakat lainnya.

*Sumber Rujukan:*
• Harahap Yahya M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), hlm.265.

• Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta, liberty, 1998, hlm. 165.

• Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

• Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

• jurnal Lex Crimen Vol. VIII/No. 1/Jan/2018 190 TINDAK PIDANA DENGAN KEKERASAN MEMAKSA PERBUATAN CABUL MENURUT PASAL 289 KUHP (KAJIAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1639 K/PID/2015)1 Oleh : Swingly Sumangkut2