PERPPU CIPTA KERJA: BISAKAH JADI DASAR IMPEACHMENT PRESIDEN JOKOWI?

PERPPU CIPTA KERJA: BISAKAH JADI DASAR IMPEACHMENT PRESIDEN JOKOWI?

Spread the love

Oleh:
_M. Jaya, S.H.,M.H., M.M. dan Alungsyah, S.H., M.H._

Senen, 16 Januari 2023

*PENGANTAR*
Tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022 silam, Presiden Jokowi menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Perppu yang diterbitkan tersebut menuai polemik di publik, salah satunya datang dari pakar Hukum Tata Negara yang juga sebagai anggota DPD RI, *Prof. Jimly Asshidiqqie,* yang pada intinya menyatakan bahwa: _Presiden Jokowi melanggar hukum dan konstitusi, dan bisa di impeach (dimakzulkan)._

Sebaliknya Pakar Hukum Tata Negara *Prof. Yusril Ihza Mahendra* mengatakan: _pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sudah sesuai prosedur dan perintah Mahkamah Konstitusi (MK)._

Pendapat dari kedua Pakar Hukum Tata Negara tersebut di atas, menimbulkan polarisasi di masyarakat, baik dari kalangan mahasiswa, praktisi hukum maupun akademisi.

Tulisan ini dibuat sebagai respon dari, apakah Presiden Jokowi dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja, bisa di Impeach?

*1. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI*
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang pada intinya menyatakan bahwa:

_Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Yang dimaksud dengan inkonstitusional bersyarat adalah suatu putusan dalam arti pasal yang dimohonkan diuji, baik materiil maupun formil tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, akan tetapi pasal tersebut akan menjadi konsti tusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi._

Adapun amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diputuskan pada tanggal 25 November 2021 sebagai berikut:

1. …
2. …
_3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”_

_4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini_

_5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen_

6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali_

_7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);_

Berikut perbaikan yang telah dilkukan oleh Pemerintah terkait dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diputuskan pada tanggal 25 November 2021 tersebut diantaranya:
*_1. Pemerintah telah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:_*

*_2. Menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja_*

*1. ALASAN PEMBENTUKAN PERPPU*
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. _”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”._

Mekanisme pembentukan Perppu sejatinya berbeda dengan pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang meliputi tahap perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan.

Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari pembentukan Perppu yang mendasari atas kegentingan yang memaksa, sehingga meniadakan tahapan perencanaan karena sifatnya yang tidak terduga dan tidak terencana.

Bahwa ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berisikan:
_1. Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;_

_2. Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa;_

_3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya;_

Menurut Mahkamah Konstitusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:
_1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;_

_2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;_

_3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;_

*2. DASAR IMPEACHMENT/PEMAKZULAN*
Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemakzulan berasal dari kata makzul, yaitu meletakkan jabatan atau turun takhta.

Sementara pemakzulan itu sendiri berarti proses, cara, perbuatan memakzulkan. Dalam bahasa Inggris, pemakzulan diartikan sebagai impeachment. Impeachment berasal dari kata _to impeach,_ berarti meminta pertanggungjawaban; mencurigai; mendakwa; dan menuduh atau dapat juga diartikan _to change with a crime or misdemeanour, to call to account; to denounce; to challenge._

Impeachment sendiri merupakan kata benda yang berarti tuduhan atau dakwaan.

Presiden/Wakil Presiden dipilih secara langsung. Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menetapkan, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Kedudukan Presiden/Wakil Presiden cukup kuat, tidak dapat dijatuhkan secara politis dalam masa jabatannya.

Artinya Presiden/ Wakil Presiden tidak dapat dimakzulkan akibat putusan kebijakan _(doelmatigheid beslissing)_ yang ditetapkan atau dijalankan Presiden/ Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, yang diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-7 (lanjutan 2), tanggal 9 November 2001, juga ditetapkan hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7A UUD 1945 menetapkan, _Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden._

Pasal 7B UUD 1945, _usul pemberhentian Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau pendapat Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden (ayat 1)._

_Pasal tersebut dimaksud bersifat imperatif, bahwasannya usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi guna mengadili dan memutus pendapat DPR tentang hal pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat DPR dimaksud adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR (ayat 2)._

_Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR (ayat 3)._

_Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi (ayat 4)._

_Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (ayat 5)._

Konstitusi mensyaratkan manakala mahkamah memutuskan bahwa pendapat DPR tidak terbukti maka proses pemakzulan tidak bakal berlanjut ke MPR.

_MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut (ayat 6)._

_Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR (ayat 7)._

Berbeda halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka Keputusan MPR bukan putusan justisil tetapi keputusan politik. MPR melakukan _een politieke beslissing nemen_ terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam proses pemakzulan.

*3. PERPPU MENJADI UNDANG-UNDANG*
Perppu ini kemudian harus segera dibahas dan dipersidangkan untuk disetujui agar dapat diundangkan menjadi sebuah Undang-Undang. Jika tidak disetujui oleh DPR, maka Perppu itu kemudian harus dicabut.

Perppu yang diajukan kepada DPR harus disusun dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang tersebut dilaksanakan sesuai dengan tata cara pembahasan RUU pada umumnya.

Proses pembahasan RUU tentang Perppu ini tidaklah memiliki implikasi hukum terhadap keberlakuannya dan tetap mengikat masyarakat secara umum, kecuali diakhir pembahasannya Perppu tersebut ditolak dan dinyatakan tidak berlaku oleh DPR.

Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa _”Peraturan Pemerintah itu (Perppu) harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” dan “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.”_, bukan saja mengatur mengenai syarat persetujuan DPR, namun juga menunjukkan bahwa perppu merupakan peraturan yang bersifat sementara, memiliki masa keberlakuan tertentu.

Masa keberlakuan perppu menurut aturan konstitusi adalah sejak ditetapkan Presiden hingga pernyataan persetujuan DPR yang dilakukan pada “persidangan berikut”. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa _”Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan” (Fitra Arsil, 2018)._

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa jangka waktu pembahasan atau pengujian di Perppu di DPR hanya dibatasi pada satu kali masa persidangan tersebut.

Proses pembahasan tersebut akan memiliki output berupa persetujuan atau penolakan terhadap Perppu yang bersangkutan. Dalam hal Perppu yang dibahas mendapat persetujuan dari DPR, maka produk hukum Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Sebaliknya, apabila Perppu ini tidak disetujui, maka Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan Perppu disini tidaklah melalui proses pembahasan seperti halnya RUU tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang, karena pada hakikatnya penolakan RUU tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang tersebut merupakan bagian dari hasil proses pembahasan di DPR, sehingga harus memiliki output berupa RUU tentang Pencabutan Perppu dan mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu tersebut.

Dengan demikian, pencabutan Perppu ini merupakan putusan yang dibuat dan telah disetujui bersama antara Presiden dan DPR (Widodo Ekatjhataja, 2008).

*4. KESIMPULAN*

*_1. Hukum Tata Negara maupun ilmu Negara pada umumnya dan khususnya terkait persyaratan pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden/Wakil Presiden bersifat rigid dan telah diatur secara limitatif di dalam UUD 1945, sehingga tidak dapat ditafsirkan secara subjektif oleh siapapun._*

*_2. Bahwa penetapan Perppu Cipta Kerja merupakan kewenangan Presiden yang telah di atur dalam UUD 1945. Karenanya Presiden tidak dapat di impeach, kecuali Presiden melakukan penghianantan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden_*

*Sumber Rujukan:*

UUD 1945

Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945 M. Laica Marzuki1

Peter Salim, Advanced English – Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1991), cet.Ketiga, h.416

John Gage Alle, Webster’s Dictionary, (Chicago, IL: Wilcox & Follet Book Company, 1983), h.186

Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 457. ( RED )